Halaman

Jumat, 10 Februari 2012

...MAHAR, BINTANG DAN SENJA...

 

Satu perempuan...
Satu laki-laki...
Dan berdua mereka memperjuangkan cinta yang terkebiri.
Dalam selingkup tabir yang panjang membentang.
“Aku tahu, kita bukan pemilik Madukara,” perempuan berkata.
“Dan kau juga tahu, kita juga bukan pemilik Indraprasta,” laki-laki juga berkata.
Hanya sebuah istana kecil dengan tanah coklat sebagai halamannya.
Ditemani sebatang plumeria berbunga putih yang harum.
“Maukah kau terima maharku?” laki-laki meminta.
“Apa maharmu?” perempuan menantang.
“Bintang,” singkat laki-laki menjawab.
Lalu kedua tangan laki-laki terbuka. Beralaskan tangkup telapak tangannya, ada sinar putih di sana.
“Kau curi bintang sebelum ia bangun?” terbeliak mata perempuan.
“Bintang ini bertulis namamu. Sering kupandangi jika aku rindu, di tiap malam aku tak bisa menyentuhmu.”
Ada yang telah tertulis dengan pasti di sana.
Sebuah nama dan hanya mata laki-laki yang bisa melihatnya.
“Biar senja jadi saksi,” perempuan berbunga-bunga.
Harapnya membuncah pada laki-laki yang bisa melihat namanya dalam kerlip bintang.
Di pelataran gerbang itu, janji terucap, mahar diserahkan.
Baju putih mereka berdua mengombak ditiup angin.
Mengibarkan anak rambut dan menguarkan kasih hingga ke langit.
Satu momentum, untuk selamanya.
Tak ada saksi, tak ada sorak, tak ada tepuk tangan, tak ada jabat tangan.
Ini panggung mereka sendiri, dunia tak perlu tahu.
Toh, dunia tak akan mengangguk.
Hanya senja, bintang dan sepasang mataku yang mengabadikan.


....sebuah Ode buat mu yg jauh disana....
bila kelak kamu mampir ke Yogya, akan kubawa dirimu kesini, ke Gerbang Candi Ratuboko
dimana petikan ucap ini kutulis...
pandangi senja nan lalu.

Tidak ada komentar: